Rante Karassik

Travelbiz – Informasi Destinasi Wisata Indonesia – Toraja Utara – Situs Purbakala Rante Karassik termasuk obyek wisata bernilai tinggi. Obyek wisata ini terletak di kampung Pao, lembang Rinding Batu, Kecamatan kesu’, sekira ± 2 kilometer dari Rantepao Toraja Utara.

Rante Karassik merupakan salah satu tempat upacara pemakaman rapasan keluarga Siambe’ Pong Maramba’ dari Tongkonan Kamiri / Potok Sia di Buntu Pune.

Menurut Aluk To Dolo (agama kepercayaan asli nenek moyang orang Toraja_red) upacara pemakaman rapasan adalah upacara pemakaman tertinggi dalam masyarakat Toraja. Biasanya upacara ini digelar hingga dua kali.

Rante Karassik

Upacara pertama dilaksanakan di Tongkonan yang disebut Aluk Pia, selanjutnya upacara kedua dilaksanakan di Rante yang disebut Aluk Palao (Aluk Rante). Upacara ini khusus digelar untuk golongan bangsawan tinggi (tana’ bulaan).

Upacara rapasan terdiri dari Rapasan Diongan, yakni upacara pemakaman dengan mengorbankan minimalnya hingga 12 ekor kerbau. Selanjutnya Rapasan Sundun, upacara pemakaman dengan korban minimal 24 ekor kerbau.

Menyusul Rapasan Sapu Randanan, yakni upacara pemakaman dengan korban minimal 30 ekor kerbau. Rante Karassik mulai digunakan sejak 1909 untuk upacara pemakaman seorang cucu dan paman dari Siambe’ Pong Maramba’. Sebelumnya, leluhur Siambe’ Pong Maramba’ menggunakan Rante Menduruk sebagai tempat upacara pemakaman rapasan. Letaknya sekira ± 1 Kilo Meter dari Rante Karassik.

Baca Juga:  Lotek dan Gado-Gado Bu Ning Kuliner Yang Melegenda

Siambe’ Ne’ Lai’ Pali’ (Ayah Siambe’ Pong Maramba’) merupakan keluarg terakhir yang diupacarakan di Rante Menduruk pada tahun 1906. Lokasi rante tersebut sekarang ditempati Kodim 1414.

Sejarah Terbentuknya RANTE KARASSIK

Terbentuknya Rante Karassik tidak terpisahkan dengan sejarah Siambe’ Pong Maramba’. Siambe’ Pong Maramba’ adalah salah satu pemimpin atau bangsawan dari wilayah Kesu’ dan Tikala yang sangat berpengaruh di Toraja pada zamannya, yakni sekitar tahun 1880-1916.

Kehadiran tentara Belanda di beberapa wilayah di Sulawesi seperti Bone dan Luwu telah diketahui oleh beliau. Untuk menyusun strategi menghadapi tentara Belanda, Siambe’ Pong Maramba’ mengutus anak menantunya Siambe’ Tandirerung ke Bone Sidenreng dan Mandar untuk mengamati langsung tentara Belanda dan juga bertemu langsung dengan para penguasa daerah tersebut untuk membicarakan cara terbaik untuk menghadapi Tentara Belanda.

Baca Juga:  Hal Unik di Tempat Wisata Umbul Ponggok

Hasil pembicaraan dengan raja-raja Bugis (khususnya Bone dan Mandar), menyimpulkan bahwa Tentara Belanda memiliki persenjataan yang tidak mungkin dilawan secara frontal (Fisik). Kemudiaan pada Bulan September diadakan musyawarah di Buntu Pune (salah satu kediaman Siambe’ Pong Maramba’), guna membicarakan sikap orang Toraja menghadapi Tentara Belanda.

Hasil musyawarah menetapkan bahwa perang saudara yaitu perang antar daerah di Toraja dihentikan dan diarahkan untuk melawan tentara Belanda.

Maka pada awal Bulan Maret 1906 saat tentara Belanda (Marsose) melalui daerah Luwu’ masuk di Balusu’ (Kecamatan Sa’dan Balusu sekarang). Beberapa penguasa dari daerah yang dilalui oleh Belanda, mencoba melakukan perlawanan tapi tidak berhasil karena Tentara Belanda sangat unggul persenjataannya, dan dalam waktu yang tidak lama sudah berada di wilayah Rantepao, daerah kekuasaan Siambe’ Pong Maramba’.

Menyadari kurangnya persenjataan yang dimiliki akhirnya Siambe’ Pong Maramba’ mengambil keputusan bahwa cara terbaik untuk melawan Tentara Belanda adalah kooperatif sambil melemahkan kekuatan Belanda dari dalam. Strategi tersebutlah yang memungkinkan Siambe Pong Maramba’ bersama para pemimpin di Toraja ditunjuk sebagai Kepala Distrik pada tahun 1907.

Baca Juga:  Mengunjungi Desa Kuno Sembiran Bali

Pada saat Tentara Belanda memasuki Rantepao, Siambe’ Pong Maramba’ masih dalam keadaan berkabung. Karena baru selesai melaksanakan upacara adat pemakaman ayahnya di Rante Menduruk. Ketika Tentara Belanda meminta kepada Siambe’ Pong Maramba’ pemondokan bekas upacara pemakaman ayahnya untuk dijadikan sebagai tempat tinggal (markas), beliau terpaksa mengijinkannya dengan catatan Belanda harus memindahkan semua simbuang (batu megalit/menhir) ke lokasi yang dipilih Siambe’ Pong Maramba’.

Lokasi pemakaman keluarga Siambe’ Pong Maramba’ akhirnya dipindahkan ke Karassik, kemudiaan dikenal dengan Rante Karassik. Dari semua simbuang (batu menhir) yang ada di Rante Menduruk, hanya 8 simbuang yang dapat dipindahkan Belanda dengan mengarahkan beratus-ratus tenaga manusia secara bergantian dan dalam waktu yang berbulan-bulan. Sisa simbuang yang tidak sanggup dipindahkan tetap ada dan telah tertimbun di Rante Menduruk (sekarang lokasi KODIM 1414).